Smart

Tabligh Akbar Fitnah dan Petaka Akhir Zaman oleh Ust Oemar Mita Lc

Saudaraku...

Waspadalah,  terhadap berbagai fitnah akhir zaman ini.

Sungguh, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam  telah memberitahukan tentang tanda-tanda fitnah-fitnah akhir zaman, agar ummat berhati-hati dan selalu bertakwa ...

Berhati-hatilah dari fitnah-fitnah dan jauhilah.

Penjelasan lebih lanjut silahkan  disimak dalam video kajian ust Oemar Mita berikut ini...




Video dapat diunduh di sini






Bencana Itu Bermula dari Kikir

Ada penyakit pada diri kaum Muslimin, yang u tidak hanya menghancurkan dirinya sendiri, tetapi dapat menghancurkan umat Islam secara keseluruhan. Ialah penyakit kikir. Sampai-sampai Allah SWT mengancam, siapa yang menentang dan tidak mau berinfak di jalan-Nya, Ia akan menggantinya dengan kaum lain yang tidak berperilaku seperti itu (kikir). Allah SWT berfirman:
هَاأَنْتُمْ هَؤُلاَءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوْا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمْ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُوْنُوْا أَمْثَالَكُمْ
“Demikianlah kalian, diseru untuk berinfak di jalan Allah. Maka di antara kalian ada yang bakhil. Barang siapa bakhil, sesungguhnya ia telah bakhil kepada dirinya sendiri. Allah Maha Kaya dan kalian itu fakir. Barang siapa berpaling (dari kewajiban infak di jalan Allah), maka Allah akan mengganti dengan kaum yang lain, kemudian kaum yang menggantikan itu tidak seperti kalian.” (QS. Muhammad : 38 )
Mulainya dari kikir. Kemudian, pasangan kikir itu adalah mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Kemudian maju sedikit, menjadi suka mencaci dan mencela. Maka Allah menyatukan dalam satu surat:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ  (1) اَلَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ  (2) يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ  (3) كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ  (4) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ  (5) نَارُ اللهِ الْمُوْقَدَةِ  (6) اَلَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ  (7) إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ  (8) فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ  (9)
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? 6. (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan. Yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka., (Sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.” (Al-Humazah : 1-9).
Humazah : mencaci ketika orangnya tidak ada, atau mencaci tidak dengan lisan. Misal dengan poster, karikatur dan sebagainya. Lumazah : mencaci ketika orangnya ada. Mencaci dengan lisan.
Selanjutnya, kikir akan menyebabkan penyakit kronis tingkat lanjutan.
Allah berfirman dalam surat Al-Qalam :
وَلاَ تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهِيْنٍ  (10)   هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيْمٍ (11)  مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ (12)  عُتُلٍّ بَعْدَ ذلِكَ زَنِيْمٍ (13)  أَنْ كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِيْنَ (14)
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Yang sangat enggan berbuat baik. Yang melampaui batas lagi banyak dosa. Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya. Karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak.” (Al-Qalam : 10-14)
Mari kita cermati proses urutannya. Bermula dari kikir, kemudian suka mengumpulkan dan menghitung-hitung harta. Lalu suka mencaci dan mencela, hingga akhirnya ia suka bersumpah sehingga menjadi hina. Ia suka  bersumpah untuk menghindari kewajiban berinfak. Ketika datang seseorang yang ia duga akan meminta infak atau sumbangan fi sabilillah, buru-buru ia mengeluarkan sejuta alasan untuk mengelak. “Sungguh, saya masih punya tanggungan kredit rumah… kredit kendaraan… polis asuransi…” dan sebagainya.
Mengatakan tidak mempunyai uang, tapi di dompetnya bertumpuk kartu kredit. Di depan orang yang hendak menarik infak, ia selalu mengesankan diri sebagai orang yang lemah, banyak utang dan tanggungan… sehingga ia betul-betul seperti orang yang hina. Apa yang membuatnya suka bersumpah yang akhirnya terjerumus kepada kehinaan? Sebabnya satu: kikir!
Tidak hanya  berhenti di situ. Ayat selanjutnya menerangkan proses kerusakan pada diri seseorang yang kikir. Yaitu:
  • Hammaz : suka mencaci mencela.
  • Massyain binamim : ke sana ke mari suka menyebar fitnah.
  • Manna’in lil khoiri : mencegah perbuatan baik.
  • Mu’tadin atsim : melebihi batas dalam berbuat dosa. Yang paling mengerikan sebenarnya adalah:
  • Utullin (kaku dan kasar) ba’da dzalika (setelah itu menjadi) zaniim (jahat).
Betapa tragis tahapan demi tahapan yang dilalui oleh seorang yang bakhil, hingga pada akhirnya ia menjadi orang yang jahat. Kadang kita tidak bisa membayangkan sebelumnya, mengapa bisa terjadi seperti itu. Tadinya dia seorang yang alim, lembut… namun berawal dari kekikiran ia akhirnya menjadi jahat.
Mengapa itu semua bisa terjadi? Jawabnya:
اَلشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَخْشَاءِ
“Setan itu menjanjikan kefaqiran kepada kalian, dan menyuruh kalian kepada perbuatan yang keji.”
Ketika orang sudah berlaku kikir, setan datang kepadanya berbisik. “Kamu jangan keluarkan uangmu untuk fi sabilillah.. bukannya kemarin sudah dimintai sumbangan yatim piatu, santunan fakir…. Belum lagi besok harus mengeluarkan zakat maal, zakat fitrah…” dan sebagainya. “Kamu nanti bisa fakir.” Tidak hanya berhenti di situ. Setan lalu menyuruhnya berbuat kekejian. “Supaya kami tidak fakir, maka lakukanlah korupsi… kamu kikirlah!” Na’udzu billah min dzalik. Semoga Allah menjaga kita dari sifat kikir.
Menelaah ayat-ayat di atas, sudah seharusnya kita merasa malu. Seolah Allah SWT meletakkan cermin di hadapan kita. Bahwa, demikianlah sifat kebanyakan manusia ketika diperintah untuk menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah. Rata-rata mereka enggan, dan bersikap bakhil.  Padahal Allah sudah menegaskan dalam akhir surat Muhammad, “Wallahu ghaniyyun wa antumul fuqara’.”
Kita lahir di dunia tidak bawa apa-apa. Lalu oleh Allah kita diberi hidup dan dikaruniai rezeki, sehingga kita punya mobil, rumah, motor, anak dan istri. Kemudian Allah memberitahu kepada kita bahwa Dia mempunyai surga. Surga milik Allah, harta dan rezeki pemberian dari Allah. Kita diminta membeli surga Allah dengan harta pemberian Allah. Tetapi kita seringnya merasa, “Itu harta saya!”Ada penyakit pada diri kaum Muslimin, yang u tidak hanya menghancurkan dirinya sendiri, tetapi dapat menghancurkan umat Islam secara keseluruhan. Ialah penyakit kikir. Sampai-sampai Allah SWT mengancam, siapa yang menentang dan tidak mau berinfak di jalan-Nya, Ia akan menggantinya dengan kaum lain yang tidak berperilaku seperti itu (kikir). Allah SWT berfirman:
هَاأَنْتُمْ هَؤُلاَءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوْا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمْ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُوْنُوْا أَمْثَالَكُمْ
“Demikianlah kalian, diseru untuk berinfak di jalan Allah. Maka di antara kalian ada yang bakhil. Barang siapa bakhil, sesungguhnya ia telah bakhil kepada dirinya sendiri. Allah Maha Kaya dan kalian itu fakir. Barang siapa berpaling (dari kewajiban infak di jalan Allah), maka Allah akan mengganti dengan kaum yang lain, kemudian kaum yang menggantikan itu tidak seperti kalian.” (QS. Muhammad : 38 )
Mulainya dari kikir. Kemudian, pasangan kikir itu adalah mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Kemudian maju sedikit, menjadi suka mencaci dan mencela. Maka Allah menyatukan dalam satu surat:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ  (1) اَلَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ  (2) يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ  (3) كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ  (4) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ  (5) نَارُ اللهِ الْمُوْقَدَةِ  (6) اَلَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ  (7) إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ  (8) فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ  (9)
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? 6. (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan. Yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka., (Sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.” (Al-Humazah : 1-9).
Humazah : mencaci ketika orangnya tidak ada, atau mencaci tidak dengan lisan. Misal dengan poster, karikatur dan sebagainya. Lumazah : mencaci ketika orangnya ada. Mencaci dengan lisan.
Selanjutnya, kikir akan menyebabkan penyakit kronis tingkat lanjutan.
Allah berfirman dalam surat Al-Qalam :
وَلاَ تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهِيْنٍ  (10)   هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيْمٍ (11)  مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ (12)  عُتُلٍّ بَعْدَ ذلِكَ زَنِيْمٍ (13)  أَنْ كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِيْنَ (14)
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Yang sangat enggan berbuat baik. Yang melampaui batas lagi banyak dosa. Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya. Karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak.” (Al-Qalam : 10-14)
Mari kita cermati proses urutannya. Bermula dari kikir, kemudian suka mengumpulkan dan menghitung-hitung harta. Lalu suka mencaci dan mencela, hingga akhirnya ia suka bersumpah sehingga menjadi hina. Ia suka  bersumpah untuk menghindari kewajiban berinfak. Ketika datang seseorang yang ia duga akan meminta infak atau sumbangan fi sabilillah, buru-buru ia mengeluarkan sejuta alasan untuk mengelak. “Sungguh, saya masih punya tanggungan kredit rumah… kredit kendaraan… polis asuransi…” dan sebagainya.
Mengatakan tidak mempunyai uang, tapi di dompetnya bertumpuk kartu kredit. Di depan orang yang hendak menarik infak, ia selalu mengesankan diri sebagai orang yang lemah, banyak utang dan tanggungan… sehingga ia betul-betul seperti orang yang hina. Apa yang membuatnya suka bersumpah yang akhirnya terjerumus kepada kehinaan? Sebabnya satu: kikir!
Tidak hanya  berhenti di situ. Ayat selanjutnya menerangkan proses kerusakan pada diri seseorang yang kikir. Yaitu:
  • Hammaz : suka mencaci mencela.
  • Massyain binamim : ke sana ke mari suka menyebar fitnah.
  • Manna’in lil khoiri : mencegah perbuatan baik.
  • Mu’tadin atsim : melebihi batas dalam berbuat dosa. Yang paling mengerikan sebenarnya adalah:
  • Utullin (kaku dan kasar) ba’da dzalika (setelah itu menjadi) zaniim (jahat).
Betapa tragis tahapan demi tahapan yang dilalui oleh seorang yang bakhil, hingga pada akhirnya ia menjadi orang yang jahat. Kadang kita tidak bisa membayangkan sebelumnya, mengapa bisa terjadi seperti itu. Tadinya dia seorang yang alim, lembut… namun berawal dari kekikiran ia akhirnya menjadi jahat.
Mengapa itu semua bisa terjadi? Jawabnya:
اَلشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَخْشَاءِ
“Setan itu menjanjikan kefaqiran kepada kalian, dan menyuruh kalian kepada perbuatan yang keji.”
Ketika orang sudah berlaku kikir, setan datang kepadanya berbisik. “Kamu jangan keluarkan uangmu untuk fi sabilillah.. bukannya kemarin sudah dimintai sumbangan yatim piatu, santunan fakir…. Belum lagi besok harus mengeluarkan zakat maal, zakat fitrah…” dan sebagainya. “Kamu nanti bisa fakir.” Tidak hanya berhenti di situ. Setan lalu menyuruhnya berbuat kekejian. “Supaya kami tidak fakir, maka lakukanlah korupsi… kamu kikirlah!” Na’udzu billah min dzalik. Semoga Allah menjaga kita dari sifat kikir.
Menelaah ayat-ayat di atas, sudah seharusnya kita merasa malu. Seolah Allah SWT meletakkan cermin di hadapan kita. Bahwa, demikianlah sifat kebanyakan manusia ketika diperintah untuk menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah. Rata-rata mereka enggan, dan bersikap bakhil.  Padahal Allah sudah menegaskan dalam akhir surat Muhammad, “Wallahu ghaniyyun wa antumul fuqara’.”
Kita lahir di dunia tidak bawa apa-apa. Lalu oleh Allah kita diberi hidup dan dikaruniai rezeki, sehingga kita punya mobil, rumah, motor, anak dan istri. Kemudian Allah memberitahu kepada kita bahwa Dia mempunyai surga. Surga milik Allah, harta dan rezeki pemberian dari Allah. Kita diminta membeli surga Allah dengan harta pemberian Allah. Tetapi kita seringnya merasa, “Itu harta saya!”


sumber : kiblat.net

MUI Bongkar Poros Penyebaran Syiah di Indonesia

Tersebarnya ajaran Syiah yang telah difatwakan menyimpang oleh Majelis Ulama Indonesia pusat (MUI)  tak lepas dari lembaga-lembaga dan yayasan-yayasan yang tersebar di Indonesia. Di samping itu, media cetak dan elektronik juga menjadi ajang penyebaran sekte yang didukung negera Iran tersebut.
Meskipun doktrin Taqiyah yang menjadi salah satu keyakinan pokok Syiah menyulitkan mengidentifikasi keberadaannya, namun menurut penelitian MUI, kaum Syiah aktif menggelar kajian dan menyebarkan ajaran menyimpang mereka kepada masyarakat Indonesia.
Dari buku panduan ‘Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia’ yang diterbitkan MUI pada Nopember 2013 ini, organisasi Ulama yang diakui pemerintah tersebut menyebutkan bahwa ajaran Syiah telah menyebar hamper di pulau-pulau besar di seluruh Indonesia. Akan tetapi, kata MUI, secara umum pusat kegiatan ajaran Syiah berada di pulau Jawa.
Dari kajian dan penelitian yang dilakukan MUI terdapat lima poros kegiatan Syiah di palau Jawa. Berikut lima poros kegiatan yang disebutkan MUI dalam buku yang kehadirannya disambut baik oleh dewan pimpinan Majelis Ulama Indonesia tersebut:
Pertama: Poros Jakarta di Islamic Cultural Center (ICC). Lembaga yang awalnya bernama Islamic Center Jakarta ini beralamatkan JL. Buncir Raya KV. 35, Pejaten Barat, Jaksel. Diyakini, lembaga dengan alamat wesite www.icc-jakarta.com itu sebagai pusat kendali operasi kegiatan Syiah di Jabodetabek, bahkan di Indonesia.
Lembaga yang digagas oleh tokoh-tokoh Syian Nasional, seperti Jalaludin Rahmat, Haidar Bagir dan Umar Shabat tersebut sering menggelar berbagai kegiatan Syiah. Di antara kegiatan yang sering digelar lembaga yang secara struktur dipimpin Mohsen Hakimollahi itu, seperti perayaan Asyura 10 Muharram, Arbain Imam Hussain dan peringatan Revolusi Iran.
Adapun di antara ustadz yang tercatat sebagai dai ICC, sebagaimana disebutkan MUI, adalah Umar Shahab, Husein Shahab, Muhsin Labib, Abdullah Beik, Mahdi Alaydrus, Musa Kadzim, Ahmad Helmi dan Salman Parisi. ICC juga memiliki tim khusus untuk menangani penyebaran ajaran mereka melalui media online.
Kedua: Poros Pekalongan-Semarang. Di kota batik, pusat penyebaran ajara Syiah berada di ponpes Al-Hadi pekalongan yang beralamat di Jl. Agus Salim, Gang 5, no.4, rt 1/3, kelurahan Klego, Pekalongan, Jawa Tengah. Meskipun pesantren tersebut telah dirikan sejak 1988, akan tetapi sebagian masyarakat tidak mengetahui keberadaan ponpes dipimpin oleh Ahmad Baraqbah dan Thoha Musawa itu. Tidak ada plang yang menunjukkan ponpes Al Hadi.
Sementara itu di ibukota provinsi Jawa Tengah, penyebaran ajaran Syiah berpusat di mushalla Al Husainiyah, Nurul Tsaqalain yang terletak di Jl. Boom Lama, no. 2, Semarang Utara. Bahkan, para pengikut Syiah di Semarang secara terang-terangan melaksankan ritual shalat Jum’at ala Syiah di mushallah yang dikelola yayasan Nurut Tsaqalain pimpinan Achmad Alatas tersebut.
Ketiga: Poros Yogyakarta. Di kota pelajar tersebut, kegiatan ajaran Syiah difasilitasi oleh Yayasan Rausyan Fikr. Menurut MUI, yayasan Rausyan Fikr sangat aktif menggelar kegiatan-kegiatan yang bertujuan menyebarkan faham Syiah. Di jogja juga terdapat organisasi Al Amin yang dimotori oleh para pemuda Alawiyin (Syiah). Akan tetapi, organisasi yang dibentuk dari ajang silaturrahmi antar perkumpulan Sayyid dan Syarifah itu enggan mengakui dirinya Syiah.
Keempat: Poros Bangil dan Pasuruan. Bisa dikatakan, Bangil adalah poros utama tersebarnya faham Syiah di Indonesia. Pasalnya, hampir semua tokoh muda Syiah di Indonesia yang berusia 40-50 tahun pernah mengenyam pendidikan di ponpes YAPI (yayasan Pendidikan Islam) Bangil, Pasuruan, Jawa Timur tersebut.
YAPI Bangil didirikan oleh Husein bin Abu Bakar Al Habsyi pada 21 Juni 1976. Tak hanya pesantren, yayasan yang pernah disinggahi ustad Mudzakir Solo itu juga menggelar pendidikan terpadu dari mulai taman kanak-kanak hinga jenjang perguruan Tinggi, Sarjana.
Di Pasuruan, poros kegiatan ajaran Syiah berada di bawah naungan yayasan Al Itrah. Yayasan yang pertama kali didirikan oleh Ali Umar Al Habsyi dan Sayyid Abdullah Al Haddad itu berdiri sejak 1996 silam. Meskipun kegiatannya sempat mati Suri selama beberapa tahun, namun pada 2006 yayasan tersebut kembali aktif dan membentuk pengurusan baru di bawah pimpinan Ali Ridho Assegaf.
Kelima: Poros Bandung. Motor penggerak utama Syiah di kota Kembang adalah Jalaludin Rakhmat, melalui organisasi Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Dari semua organisasi dan lembaga Syiah di Indonesia, IJABI merupakan organisasi yang sayapnya sudah menyebar ke seluruh Indonesia, sampai tingakat kecamatan.
Selain Ijabi, di Bandung juga terdapat yayasan dan lembaga Syiah lainnya yang cukup aktif, seperti Al Jawwad dan Yayasan Sepuluh Muharram (YPM). Sementara di pendidikan, Syiah Bandung memiliki yayasan Muthahhari yang mengelola pendidikan unggulan di Bandung. Selain menawarkan pendidikan gratis untuk warga miskin, yayasan Muthahhari juga menyelenggarakan pendidikan yang dikelola secara komersial dengan biaya yang cukup mahal.

sumber : kiblat.net

Akibat Menyelisihi Jalan Orang Beriman

Sebelumnya telah dijelaskan tafsir jalan orang beriman di surat An-Nisa’: 115. Selanjutnya, orang yang menyelisihi jalan mereka, Allah membiarkan dirinya dalam pilihannya (yang sesat) itu dalam keadaan hina, sehingga tidak akan diberi petunjuk kepada kebenaran. Ini terjadi karena ia telah mengetahui kebenaran namun meninggalkan.
Pemahamannya ayat tersebut, bahwa siapa yang tidak menyelisihi Rasul saw dan mengikuti jalan orang-orang beriman, dalam wujud ketulusan kepada Allah, mengikuti Rasul-Nya, dan komitmen bersama jamaah kaum muslimin, lalu orang tersebut melakukan dosa atau timbul keinginan untuk itu dan dikalahkan oleh tabiatnya sebagai manusia, Allah tidak akan memalingkan dirinya. Allah akan membimbingnya dengan kelembutan-Nya dan menjaganya dari keburukan tadi. Hal ini terjadi pada Yusuf as. Seperti disebutkan dalam firman-Nya,“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Yusuf: 24) (Tafsir As-Sa’di: I/202).
Banyak hal yang menyebabkan seseorang tidak konsisten pada kebenaran setelah ia tahu kebenaran itu:
1.    Tidak memahami hakikat iman
Imam yang benar sesuai yang dibawa Nabi saw akan berdampak pada kebahagiaan dunia dan akhirat, memperbaiki lahir dan batin, akidah, perilaku, dan etika. Bila ini tidak terjadi berarti ada yang salah pada keimanan seseorang. Allah berfirman, “Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna, padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul).
Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.” (Yunus: 39).
Banyak model manusia yang berpaling dari kebenaran karena sebab ini, baik karena menginginkan keduniaan dengan menjual agama, demi harta, kedudukan, reputasi dan semacamnya. Contoh:  (At-Taubah: 75-77). Ibnul Jauzi mengatakan, “Aku melihat sebab kegelisahan dan kesedihan adalah berpaling dari Allah dan cenderung kepada dunia.”
2.    Lebih bangga dengan ilmunya dan fanatik terhadap ulama tertentu. Allah berfirman, “Maka tatkala datang kepada mereka Rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka lecehkan itu.” (Al-Mukmin: 83).
Mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka Maksudnya ialah bahwa mereka sudah merasa cukup dengan ilmu pengetahuan yang ada pada mereka dan tidak merasa perlu lagi dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh Rasul-rasul mereka. malah mereka memandang enteng dan melecehkan keterangan yang dibawa Rasul-rasul itu.
3.    Harapan terhadap Allah lebih dominan daripada perasaan takut terhadap siksa-Nya, atau sebaliknya.
Ini adalah penyakit yang banyak menimpa umat. Imam Ghazali mengatakan dalam kitab Al-Ihya, “Awal jauhnya seseorang dari Allah adalah maksiat dan berpaling dari-Nya demi mengejar keuntungan sesaat dan godaan dunia, yang tidak pada tempatnya.”
Seberapa kuat seorang muslim bertahan pada kebenaran?
Kebanyakan kitab tafsir menyebutkan, ayat 115 surat An-Nisa’ ini berkenaan dengan seseorang yang disebut Tu’mah yang masuk Islam, kemudian mencuri dan harus dipotong tangannya. Karena malu, ia memisahkan diri dari kaum muslimin dan bergabung dengan kaum musyrikin di Mekkah.
Konsisten di jalan kebenaran memang tidak mudah. Sejarah sejak Nabi Nuh menunjukkan bahwa pelaku kebenaran selalu dihadapkan pada ujian yang berat. Itulah sebabnya ketika Khabbab mengadukan penderitaan yang harus ditanggung, padahal ia berada dalam kebenaran, Rasul saw menjawab, “Sesungguhnya di antara orang-orang sebelum kalian, ada yang diletakkan gergaji di atas tubuhnya lalu digergaji hingga terbelah sampai kedua kakinya, namun itu tidak membuatnya berpaling dari agamanya. Ada pula yang tubuhnya disisir dengan sisir besi, sehingga terpisah antara daging dan tulangnya semua itu tidak membuatnya berpaling dari agamanya …tetapi kalian tergesa-gesa.” (HR. Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah)
Al-Qusyairi ketika menafsirkan surah Jin ayat kedelapan, mengatakan, “Istiqamah di jalan kebenaran mengakibatkan sempurnanya nikmat dan ketenangan, sedangkan berpaling dari Allah berakibat sempitnya hidup dan kesengsaraan yang tidak berakhir.” (Tafsir Al-Qusyairi, VII/488).
Banyak contoh orang yang berpaling dari kebenaran setelah mengetahuinya, namun teladan tentang orang-orang yang tetap bertahan pada kebenaran tetap ada sejak dahulu sampai bumi ini diwarisi oleh Allah, sesuai sabda Nabi saw. Yusuf as., misalnya, kebenaran selalu menjadi dasar perbuatannya, baik ketika menjadi budak, di penjara, hingga menjadi penguasa. Dan ini berbuah manisnya kehidupan di dunia dan akhirat, karena Allah tidak akan menyia-nyiakan kebaikan orang yang beriman, “Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 90).
Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, Dia akan memberikan musibah kepadanya.” (HR. Bukhari).
Jadi, bisa disimpulkan bahwa orang yang berkomitmen pada kebenaran akan selalu berada dalam ujian sampai Allah benar-benar tahu siapakah yang terbaik amalnya. Rasulullah saw memberikan wejangan bahwa amal saleh akan menyelamatkan seseorang pada masa-masa sulit:

بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا

“Segeralah beramal sebelum datangnya fitnah seperti malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir dipagi harinya. Dia menjual agamanya dengan barang kenikmatan dunia.” (HR Riwayat Muslim). Wallahu a’lam.
sumber : Kiblat.net



Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Uswah dan Gurunya Para Ulama Salaf

Dari tangan Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyah lahir ulama-ulama kenamaan dari berbagai madzhab di negeri Syam, baik Syafi’iyyah maupun dari Hanbaliyyah. Ia juga terkenal produktif menulis buku. Tercatat, ada sekitar 41 buah karya kitab dari berbagai disiplin ilmu telah ia tulis selama hidupnya. Karena itu, ia dijuluki “kamus ilmu pengetahuan”.

Dia dilahirkan pada tanggal 7 Shafar tahun 691 H. Di perkampungan Hauran, sebelah tenggara Damaskus. Ayahnya adalah seorang kepala Madrasah al-Jauziyyah, sebuah Madrasah  yang didirikan oleh Syaikh oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi. Nama al-Jauziyah adalah nisbat kepada madrasah yang dikelola oleh ayahnhya.

Beliau adalah ahli fikih bermadzhab Hanbali. Disamping itu juga seorang ahli tafsir, ahli hadits, penghafal al-Quran, ahli ilmu nahwu, ahli ushul, ahli ilmu kalam, sekaligus seorang mujtahid dari madzhab Hanbali. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri, Syaikh Abu Bakar al-Jauzi, ulama yang ahli fikih dan ilmu faraidh.

Guru utamanya adalah Syaikh Ibnu Taimiyah, dimana ia beberapa tahun bermulazamah dengannya. Sejak tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H.  Pada masa itu, Ibnul Qayyim sedang pada awal masa-masa mudanya. Oleh karenanya beliau sempat betul-betul mereguk sumber mata ilmunya yang luas. Beliau dengarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan.

Dia tidak hanya pakar fikih Hanbali tapi juga ahli tafsir, hadis, kalam, tasawwuf dan sastra Arab. Seorang muridnya, Ibnu Rajab, berkomentar: “Dia pakar dalam tafsir  tak tertandingi, ahli dalam bidang ushuluddin dan ilmu ini mencapai puncak di tangannya, ahli dalam fikih dan ushul fikih, ahli dalam bidang bahasa Arab dan memiliki kontribusi besar di dalamnya, ahli dalam bidang ilmu kalam, dan juga ahli dalam bidang tasawuf. Ibnu Katsir berkata, “Dia mempelajari hadits dan sibuk dengan ilmu. Dia menguasai berbagai cabang ilmu, utamanya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushuluddin, dan ushul fikih”.

Burhanuddin al-Zar’i mengatakan bahwa tidak ada di bawah ufuk bumi ini yang lebih luas ilmunya daripada Ibnu al-Qayyim . Dia telah menulis dengan tangannya karya-karya yang tak dapat digambarkan dan menyusun sejumlah karangan yang banyak sekali tentang berbagai ilmu.

Ia menjadi teladan baik untuk para ulama karena cukup produktif menulis. Ada sekitar 41 karya kitab yang telah ia tulis. Di antaranya:

Tahdzib Sunan Abi Daud, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaqil Ghadlban, Ighatsatul Lahfan fi Masha`id asy-Syaithan, Bada I’ul Fawa’id Amtsalul Qur’an, Buthlanul Kimiya’ min Arba’ina wajhan, Bayan ad-Dalil ’ala istighna’il Musabaqah ‘an at-Tahlil, At-Tibyan fi Aqsamil Qur’an, At-Tahrir fi maa yahillu wa yahrum minal haris, Safrul Hijratain wa babus Sa’adatain, Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in, Aqdu Muhkamil Ahya’ baina al-Kalimit Thayyib wal Amais Shalih al-Marfu’ ila Rabbis Sama’, Syarhu Asma’il Kitabil Aziz, Zaadul Ma’ad fi Hadyi Kairul Ibad, Zaadul Musafirin ila Manazil as-Su’ada’ fi Hadyi Khatamil Anbiya’, Jala’ul Afham fi dzkris shalati ‘ala khairil Am, Ash-Shawa’iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyah wal Mu’aththilah, Asy-Syafiyatul Kafiyah fil Intishar lil firqatin Najiyah, Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz bainal Mardud wal Maqbul, Hadi al-Arwah ila biladil Arrah, Nuz-hatul Musytaqin wa raudlatul Muhibbin, al-Jawabul Kafi Li man sa`ala ’anid Dawa`is Syafi, Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud,Miftah daris Sa’adah, Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwi Jahmiyyah wal Mu’aththilah, Raf’ul Yadain fish Shalah, Nikahul Muharram, Kitab tafdlil Makkah ‘Ala al-Madinah, Fadl-lul Ilmi, ‘Uddatus Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin, al-Kaba’ir, Hukmu Tarikis Shalah, Al-Kalimut Thayyib, Al-Fathul Muqaddas, At-Tuhfatul Makkiyyah, Syarhul Asma il Husna, Al-Masa`il ath-Tharablusiyyah, Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkami Ahlil Jahim, Al-Farqu bainal Khullah wal Mahabbah wa Munadhorotul Khalil li qaumihi,  Ath-Thuruqul Hikamiyyah.

Meski Syaik Ibnu Qayyim bermadzhab Hanbali, namun para muridnya ternyata ada yang dari madzhab Syafi’i. hal ini menunjukkan tradisi para ulama dahulu yang tidak egois dan fanatik dalam madzhab. Yang hebat, para muridnya banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti Ibnu Katsir, seorang imam hafizh yang terkenal yang terkenal dengan kitab tafsirnya. Selain Ibnu Katsir, di antaranya adalah:
  1. Ibnu Rajab. Dia adalah Abdurrahman Zainuddin Abu al-Faraj bin Ahmad bin Abdurrahman yang biasa digelar dengan Rajab al-Hanbali. Dia memiliki beberapa karangan yang bermanfaat.
  2. Syarafuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Dia adalah putra Abdullah bin Muhammad. Dia sangat brilian. Dia mengambil alih pengajaran setelah ayahnya wafat di ash- Shadriyah.
  3. As-Subki. Dia adalah Ali Abdulkafi bin Ali bin Tammam as-Subki Taqiyuddin Abu al-Hasan.
  4. Adz-Dzahabi. Dia adalah Muhammad bin Ahmad bin ‘Usman bin Qayimaz adz- Dzahabi at-Turkmani asy-Syafi’i. Dia adalah seorang imam, hafizh yang memiliki banyak karangan dalam hadits dan Iain-lain.
  5. Ibnu Abdulhadi. Dia adalah Muhammad Syamsuddin Abu Abdullah bin Ahmad bin Abdulhadi al-Hanbali. Dia adalah seorang hafizh yang kritis.
  6. An-Nablisi. Dia adalah Muhammad Syamsuddin Abu Abdullah an-Nablisi al- Hanbali. Dia mempunyai beberapa karangan, di antaranya kitab Mukhtashar Thabaqat al-Hanabilah.
  7.  Al-Ghazi. Dia adalah Muhammad bin al-Khudhari al-Ghazi asy-Syafi’i. Nasabnya sampai kepada Shahabat Zubair bin Awwam r.a.
  8. Al-Fairuzabadi. Dia adalah Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi asy-Syafi’i. Dia pengarang sebuah kamus dan karangan-karangan lain yang baik.
Ibnul Qayyim meninggal dunia pada waktu isya’ tanggal 13 Rajab 751 H. Ia dishalatkan di Mesjid Jami’ Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami’ Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.Bumi Syam 

[Ebook ] Sikap Ulama Islam Terhadap Agama Syi’ah

Pada hari-hari ini, kita melihat bahwa kaum Syi’ah sibuk menyebarkan lembaran-lembaran dari beberapa tokoh yang berisi beberapa pernyataan bahwa agama Syi’ah tidak sesat. Hal ini sudah menjadi kebiasaan kaum Syi’ah, pada negeri tempat mereka menganggap diri-diri mereka sebagai kaum minoritas, untuk menyerukan pendekatan atau persatuan antara Sunni dan Syi’ah serta yang semisalnya. Seluruh hal tersebut adalah upaya untuk mengaburkan sikap ulama Islam terhadap agama Syi’ah.
Ebook ini berisi riwayat-riwayat dari para Ulama Islam tentang bagaimana “Sikap Ulama Islam Terhadap Agama Syi’ah?” agar umat Islam mengetahui bagaimana sikap ulama Islam yang sesungguhnya terhadap agama Syi’ah. Silakan download pada link berikut ini :
Sikap Ulama Islam terhadap Agama Syi’ah [pdf] Download
Berikut nukilannya :
1. Imam ‘Alqamah bin Qais An-Nakha’iy rahimahulllâh (W. 62 H)
Beliau berkata,
لقد غلت هذه الشيعة في علي رضي الله عنه كما غلت النصارى في عيسى بن مريم
“Sungguh kaum Syi’ah ini telah berlaku ekstrem terhadap ‘Ali radhiyallâhu ‘anhûsebagaimana kaum Nashara berlaku ekstrem terhadap Isa bin Maryam.” [Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah 2/548]
2. Imam ‘Amr bin Syarâhîl Asy-Sya’by Al-Kûfy rahimahulllâh (W. 105 H)
Beliau bertutur,
ما رأيت قوماً أحمق من الشيعة
“Saya tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih dungu daripada kaum Syi’ah.” [Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah 2/549, Al-Khallâl dalam As-Sunnah 1/497, dan Al-Lâlakâ`iy dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wa Al-Jam’âh 7/1461]
Beliau juga bertutur,
نظرت في هذه الأهواء وكلمت أهلها فلم أر قوماً أقل عقولاً من الخشبية
“Saya melihat kepada pemikiran-pemikiran sesat ini, dan Saya telah berbicara dengan penganutnya. Saya tidak melihat bahwa ada suatu kaum yang akalnya lebih pendek daripada kaum (Syi’ah) Al-Khasyabiyah.” [Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah 2/548]
3. Imam Thalhah bin Musharrif rahimahulllâh (W. 112 H)
Beliau berkata,
الرافضة لا تنكح نساؤهم، ولا تؤكل ذبائحهم، لأنهم أهل ردة
“(Kaum Syi’ah) Rafidhah tidak boleh menikahi kaum perempuan mereka dan tidak boleh memakan daging-daging sembelihannya karena mereka adalah kaum murtad.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibânah Ash-Shughrâ` hal. 161]
4. Imam Abu Hanîfah Muhammad bin An-Nu’mân rahimahulllâh (W. 150 H)
Beliau berucap,
الجماعة أن تفضل أبا بكر وعمر وعلياً وعثمان ولا تنتقص أحداً من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم
Al-Jamâ’ah adalah (berarti) engkau mengutamakan Abu Bakar, Umar, Ali, dan Ustman, serta janganlah engkau mencela seorang pun shahabat Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa sallam. [Al-Intiqâ` Fî Fadhâ`il Ats-Tsalâtsah Al-A`immah Al-Fuqahâ` hal. 163]
5. Imam Mis’ar bin Kidâm rahimahulllâh (W. 155 H)
Imam Al-Lâlakâ`iy meriwayatkan bahwa Mis’ar bin Kidâm dijumpai seorang lelaki dari kaum Rafidhah, kemudian orang tersebut membicarakan sesuatu dengannya, tetapi kemudian Mis’ar berkata,
تنح عني فإنك شيطان
“Menyingkirlah dariku. Sesungguhnya engkau adalah syaithan.” [Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wal Jamâ’ah 8/1457]
6. Imam Sufyân bin Abdillah Ats-Tsaury rahimahulllâh (W. 161 H)
Muhammad bin Yusuf Al-Firyâby menyebut bahwa beliau mendengar Sufyân ditanya oleh seorang lelaki tentang pencela Abu Bakr dan Umar, Sufyân pun menjawab,
كافر بالله العظيم
“(Pencela itu) adalah kafir kepada Allah Yang Maha Agung.”
Orang tersebut bertanya, “(Bolehkah) Kami menshalatinya?”
(Sufyân) menjawab,
لا، ولا كرامة
“Tidak. Tiada kemuliaan baginya.”
Kemudian beliau ditanya, “Lâ Ilâha Illallâh. Bagaimana kami berbuat terhadap jenazahnya?”
Beliau menjawab,
لا تمسوه بأيديكم، ارفعوه بالخشب حتى تواروه في قبره
“Janganlah kalian menyentuhnya dengan tangan-tangan kalian. Angkatlah (jenazah itu) dengan kayu hingga kalian menutup kuburnya.” [Disebutkan oleh Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lâm An-Nubalâ` 7/253]
7. Imam Malik bin Anas rahimahulllâh (W. 179 H)
Beliau bertutur,
الذي يشتم أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم ، ليس لهم سهم، أوقال نصيب في الإسلام
“Orang yang mencela shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidaklah memiliki saham atau bagian apapun dalam keislaman.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah hal. 162 dan Al-Khatsûl dalam As-Sunnah 1/493]
Asyhab bin Abdul Aziz menyebutkan bahwa Imam Malik ditanya tentang Syi’ah Rafidhah maka Imam Malik menjawab,
لا تكلمهم ولا ترو عنهم فإنهم يكذبون
“Janganlah kalian meriwayatkan hadits dari mereka. Sesungguhnya mereka itu sering berdusta.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibânah Al-Kubrâ` sebagaimana dalam Minhâj As-Sunnah karya Ibnu Taimiyah 1/61]
8. Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim rahimahulllâh (W.182 H)
Beliau berkata,
لا أصلي خلف جهمي، ولا رافضي، ولا قدري
“Saya tidak mengerjakan shalat di belakang seorang Jahmy (penganut Jahmiyah),Râfidhy (penganut paham Syi’ah Rafidhah), dan Qadary (penganut paham Qadariyah).” [Diriwayatkan oleh Al-Lâlakâ`iy dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wa Al-Jamâ’ah 4/733]
9. Imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahulllâh (W. 198 H)
Beliau berucap,
هما ملتان: الجهمية، والرافضة
“Ada dua agama (yang bukan Islam, -pent.), yaitu Jahmiyah dan Rafidhah.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dalam Khalq Af’âl Al-‘Ibâd hal.125]
10. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syâfi’iy rahimahulllâh (W. 204 H)
Beliau berkata,
لم أر أحداً من أصحاب الأهواء، أكذب في الدعوى، ولا أشهد بالزور من الرافضة
“Saya tidak pernah melihat seorang pun penganut hawa nafsu yang lebih dusta dalam pengakuan dan lebih banyak bersaksi palsu melebihi Kaum Rafidhah.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibânah Al-Kubrâ` 2/545 dan Al-Lâlakâ`iy dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wa Al-Jamâ’ah 8/1457]
11. Imam Yazîd bin Harun rahimahulllâh (W. 206 H)
Beliau berkata,
يكتب عن كل صاحب بدعة إذا لم يكن داعية إلا الرافضة فإنهم يكذبون
“Boleh mencatat (hadits) dari setiap penganut bid’ah yang menyeru kepada bid’ahnya, kecuali (Syi’ah) Rafidhah karena mereka sering berdusta.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibânah Al-Kubrâ` sebagaimana dalam Minhâj As-Sunnah 1/60 karya Ibnu Taimiyah]
12. Imam Muhammad bin Yusuf Al-Firyaby rahimahulllâh (W. 212 H)
Beliau berkata,
ما أرى الرافضة والجهمية إلا زنادقة
“Saya tidak memandang kaum Rafidhah dan kaum Jahmiyah, kecuali sebagai orang-orang zindiq.” [Diriwayatkan oleh Al-Lâlakâ`iy dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wa Al-Jamâ’ah 8/1457]
13. Imam Al-Humaidy, Abdullah bin Az-Zubair rahimahulllâh (W. 219 H)
Setelah menyebutkan kewajiban mendoakan rahmat bagi para shahabat, beliau berkata,
فلم نؤمر إلا بالاستغفار لهم، فمن يسبهم، أو ينتقصهم أو أحداً منهم، فليس على السنة، وليس له في الفئ حق
“Kita tidaklah diperintah, kecuali memohonkan ampunan bagi (para shahabat). Siapa saja yang mencerca mereka atau merendahkan mereka atau salah seorang di antara mereka, dia tidaklah berada di atas sunnah dan tidak ada hak apapun baginya dalamfâ`i.” [Ushûl As-Sunnah hal.43]
14. Imam Al-Qâsim bin As-Sallam rahimahulllâh (W. 224 H)
Beliau berkata,
عاشرت الناس، وكلمت أهل الكلام، وكذا، فما رأيت أوسخ وسخاً، ولا أقذر قذراً، ولا أضعف حجة، ولا أحمق من الرافضة …
“Saya telah hidup dengan seluruh manusia. Saya telah berbicara dengan ahli kalam dan … demikian. Saya tidak melihat ada yang lebih kotor, lebih menjijikkan, argumennya lebih lemah, dan lebih dungu daripada kaum Rafidhah ….” [Diriwayatkan oleh Al-Khallâl dalam As-Sunnah 1/499]
15. Imam Ahmad bin Yunus rahimahulllâh (W. 227 H)
Beliau berkata,
إنا لا نأكل ذبيحة رجل رافضي، فإنه عندي مرتد
“Sesungguhnya kami tidaklah memakan sembelihan seorang Syi’ah Rafidhah karena dia, menurut Saya, adalah murtad.” [Diriwayatkan oleh Al-Lâlakâ`iy dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wa Al-Jamâ’ah 8/459]
16. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulllâh (W. 241 H)
Banyak riwayat dari beliau tentang celaan terhadap kaum Rafidhah. Di antaranya adalah:
Beliau ditanya tentang seorang lelaki yang mencela seorang shahabat Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam maka beliau menjawab,
ما أراه على الإسلام
“Saya tidak memandang bahwa dia di atas (agama) Islam.” [Diriwayatkan oleh Al-Khallâl dalam As-Sunnah 1/493]
Beliau juga ditanya tentang pencela Abu Bakr, Umar, dan Aisyah maka beliau menjawab, “Saya tidak memandang bahwa dia di atas (agama) Islam.” [Diriwayatkan oleh Al-Khallâl dalam As-Sunnah 1/493]
Beliau ditanya pula tentang orang yang bertetangga dengan (Syi’ah) Rafidhah yang memberi salam kepada orang itu. Beliau menjawab.
لا، وإذا سلم عليه لا يرد عليه
“Tidak (dijawab). Bila (orang Syi’ah) itu memberi salam kepada (orang) itu, janganlah dia menjawab (salam) tersebut.” [Diriwayatkan oleh Al-Khallâl dalam As-Sunnah1/494]
17. Imam Al-Bukhâry, Muhammad bin Ismail rahimahulllâh (W. 256 H)
Beliau berkata,
ما أبالي صليت خلف الجهمي والرافضي، أم صليت خلف اليهود والنصارى، ولا يسلم عليهم، ولا يعادون، ولا يناكحون، ولا يشهدون، ولا تؤكل ذبائحهم
“Saya tidak peduli. Baik Saya melaksanakan shalat di belakang Jahmy dan Rafidhy maupun Saya mengerjakan shalat di belakang orang-orang Yahudi dan Nashara, (ketidakbolehannya sama saja). (Seseorang) tidak boleh menjenguk mereka, menikahi mereka, dan bersaksi untuk mereka.” [Khalq Af’âl Al-‘Ibâd hal. 125]
18. Imam Abu Zur’ah Ar-Râzy, Ubaidullah bin Abdil Karim rahimahulllâh (W. 264 H)
Beliau berkata, “Apabila engkau melihat seorang lelaki yang merendahkan seorang shahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ketahuilah bahwa dia adalah zindiq. Hal itu karena, di sisi Kami, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah benar dan Al-Qur`an adalah benar. Sesungguhnya, penyampai Al-Qur`an ini dan hadits-hadits adalah para shahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Orang Syi’ah yang mencela shahabat) hanya ingin mempercacat saksi-saksi Kita untuk menghasilkan Al-Kitab dan Sunnah, Celaan terhadap (kaum pencela itu) adalah lebih pantas dan mereka adalah para zindiq.” [Diriwayatkan oleh Al-Khâtib dalam Al-Kifâyah hal. 49]
19. Imam Abu Hâtim Ar-Râzy, Muhammad bin Idris rahimahulllâh (W. 277 H)
Ibnu Abi Hâtim bertanya kepada ayahnya, Abu Hâtim, dan kepada Abu Zur’ah tentang madzhab dan aqidah Ahlus Sunnah maka Abu Hâtim dan Abu Zur’ah menyebut pendapat yang disepakati oleh para ulama itu di berbagai negeri. Di antara perkataan mereka berdua adalah bahwa kaum Jahmiyah adalah kafir, sedang kaum Rafidhah telah menolak keislaman. [Diriwayatkan oleh Al-Lâlakâ`iy dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wa Al-Jam’âh 1/178]
20. Imam Al-Hasan bin Ali bin Khalaf Al-Barbahary rahimahulllâh (W. 329 H)
Beliau berkata,
واعلم أن الأهواء كلها ردية، تدعوا إلى السيف، وأردؤها وأكفرها الرافضة، والمعتزلة، والجهمية، فإنهم يريدون الناس على التعطيل والزندقة
“Ketahuilah bahwa seluruh pemikiran sesat adalah menghancurkan, mengajak kepada kudeta. Yang paling hancur dan paling kafir di antara mereka adalah kaum Rafidhah, Mu’tazilah, Jahmiyah. Sesungguhnya mereka menghendaki manusia untuk melakukan ta’thîl dan kezindiqan.” [Syarh As-Sunnah hal. 54]
21. Imam Umar bin Syâhin rahimahulllâh (W. 385 H)
Beliau berkata, “Sesungguhnya, sebaik-baik manusia setelah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali ‘alaihimus salâm, serta sesungguhnya seluruh shahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang pilihan lagi baik. Sesungguhnya Saya beragama kepada Allah dengan mencintai mereka semua, dan sesungguhnya Saya berlepas diri dari siapa saja yang mencela, melaknat, dan menyesatkan mereka, menganggap mereka berkhianat, serta mengafirkan mereka …, dan sesungguhnya Saya berlepas diri dari semua bid’ah berupa Qadariyah, Murji’ah, Rafidhah, Nawâshib, dan Mu’tazilah.” [Al-Lathîf Li Syarh Madzâhib Ahlis Sunnah hal. 251-252]
22. Imam Ibnu Baththah rahimahulllâh (W. 387 H)
Beliau bertutur, “Adapun (Syi’ah) Rafidhah, mereka adalah manusia yang paling banyak berselisih, berbeda, dan saling mencela. Setiap di antara mereka memilih madzhab tersendiri untuk dirinya, melaknat penyelisihnya, dan mengafirkan orang yang tidak mengikutinya. Seluruh dari mereka menyatakan bahwa tidak (sah) melaksanakan shalat, puasa, jihad, Jum’at, dua Id, nikah, talak, tidak pula jual-beli, kecuali dengan imam, sedang barangsiapa yang tidak memiliki imam, tiada agamanya baginya, dan barangsiapa yang tidak mengetahui imamnya, tiada agama baginya …. Andaikata bukan karena pengutamaan penjagaan ilmu, yang perkaranya telah Allah tinggikan dan kedudukannya telah Allah muliakan, dan penyucian ilmu terhadap percampuran najis-najis penganut kesesatan serta keburukan pendapat-pendapat dan madzhab mereka, yang kulit-kulit merinding menyebutkannya, jiwa merintih mendengarkannya, dan orang-orang yang berakal membersihkan ucapan dan pendengaran mereka dari ucapan-ucapan bid’ah tersebut, tentulah Saya akan menyebutkan (kesesatan Rafidhah) yang akan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang ingin mengambil pelajaran.” [Al-Ibânah Al-Kubrâ` hal. 556]
23. Imam Al-Qahthâny rahimahulllâh (W. 387 H)
Beliau menuturkan kesesatan Rafidhah dalam Nûniyah-nya,
إن الروافضَ شرُّمن وطيءَ الحَصَى … من كلِّ إنسٍ ناطقٍ أو جانِ
مدحوا النّبيَ وخونوا أصحابه … ورموُهمُ بالظلمِ والعدوانِ
حبّوا قرابتهَ وسبَّوا صحبه … جدلان عند الله منتقضانِ
Sesungguhnya orang-orang Rafidhah adalah sejelek-jelek makhluk yang pernah menapak bebatuan
Dari seluruh manusia yang berbicara dan seluruh jin
Mereka memuji Nabi, tetapi menganggap para shahabatnya berkhianat
Dan mereka menuduh para shahabat dengan kezhaliman dan permusuhan
Mereka (mengaku) mencintai kerabat Nabi, tetapi mencela para shahabat beliau
Dua perdebatan yang bertentangan di sisi Allah
[Nûniyah Al-Qahthâny hal. 21]
24. Imam Abul Qâsim Ismail bin Muhammad Al-Ashbahâny rahimahulllâh (W. 535 H)
Beliau berucap, “Orang-orang Khawarij dan Rafidhah, madzhabnya telah mencapai pengafiran shahabat dan orang-orang Qadariyah yang mengafirkan kaum muslimin yang menyelisihi mereka. Kami tidak berpendapat bahwa boleh melaksanakan shalat di belakang mereka, dan kami tidak berpendapat akan kebolehan hukum para qadhi dan pengadilan mereka. Juga bahwa, siapa saja di antara mereka yang membolehkan kudeta dan menghalalkan darah, tidak diterima persaksian dari mereka.” [Al-Hujjah Fî Bayân Al-Mahajjah 2/551]
25. Imam Abu Bakr bin Al-‘Araby rahimahulllâh (W. 543 H)
Beliau bertutur, “Tidaklah keridhaan orang-orang Yahudi dan Nashara kepada pengikut Musa dan Isa sama seperti keridhaan orang-orang Rafidhah kepada para shahabat Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Yakni, (kaum Rafidhah) menghukumi (para shahahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam) bahwa para (shahabat) bersepakat di atas kekafiran dan kebatilan.” [Al-‘Awâshim Min Al-Qawâshim hal. 192]
26. Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulllâh (W. 728 H)
Beliau menyatakan, “… dan cukuplah Allah sebagai Yang Maha Mengetahui bahwa, dalam seluruh kelompok yang bernisbah kepada Islam, tiada yang (membawa) bid’ah dan kesesatan yang lebih jelek daripada (kaum Rafidhah) tersebut, serta tiada yang lebih jahil, lebih pendusta, lebih zhalim, dan lebih dekat kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan, juga tiada yang lebih jauh dari hakikat keimanan daripada (kaum Rafidhah) itu.” [Minhâj As-Sunnah 1/160]
Beliau berkata pula, “(Kaum Rafidhah) membantu orang-orang Yahudi, orang-orang Nashara, dan kaum musyrikin terhadap ahlul bait Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallamdan umat beliau yang beriman sebagaimana mereka telah membantu kaum musyrikin dari kalangan At-Turk dan Tartar akan perbuatan mereka di Baghdad dan selainnya terhadap ahlul bait Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan Ma’din Ar-Risâlah, keturunan Al-‘Abbâs dan ahlul bait yang lain, berupa pembunuhan, penawanan, dan perusakan negeri-negeri. Kejelekan dan bahaya (orang-orang Rafidhah) terhadap umat Islam takkan mampu dihitung oleh orang yang fasih berbicara.” [Majmu’ Al-Fatâwâ 25/309]
*Disadur dan diringkas dari Al-Intishâr Li Ash-Shahbi Wa Al-Âl Min Iftirâ`ât As-Samâwy Adh-Dhâl hal. 90-110
Dari Situs Pribadi Al-Ustadz Dzulqarnain

Memahami dan Mengikuti Jalan Orang Beriman

Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
Ibnu Katsir mengatakan, “Barang siapa yang menempuh jalan selain jalan syariat yang dibawa oleh Rasul Saw., ia berada di suatu jalur, sedangkan syariat Rasul Saw. berada di jalur yang lain. Hal tersebut dilakukannya dengan sengaja sesudah tampak jelas baginya jalan kebenaran.” (Tafsir Ibnu Katsir, II/412).
Ibnu Mas’ud berkata, “Pada suatu hari Rasulullah saw membuat sebuah garis lurus untuk kami, kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah’, kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanan dan kirinya, seraya bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan lain, di setiap jalan tersebut ada setan yang mengajak untuk mengikutinya (jalan tersebut). Lalu beliau membaca ayat: ‘(Inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan tersebut. Dan, janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain. Jika kalian mengikuti jalan-jalan tersebut, niscaya kalian semua akan terpisah dari jalan-Nya.’ (Al-An’am: 153).” (HR Ibnu Hibban dan Ad-Darimi)
Makna firman Allah “dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin” masih berkaitan dengan penyimpangan pada kalimat sebelumnya. Tetapi penyimpangan tersebut adakalanya terhadap nash syariat dan adakalanya terhadap perkara yang telah disepakati oleh umat Muhammad dalam hal-hal yang telah dimaklumi secara nyata. Karena kesepakatan umat ini telah terjaga dari kekeliruan. (Tafsir Ibnu Katsir, II/412). Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam Syafi’i bahwa ijma’ adalah sumber hukum yang haram ditentang. Imam Syafi’i sampai kepada kesimpulan ini setelah melakukan kajian cukup lama dan penyelidikan yang teliti. Dalil ini merupakan suatu kesimpulan yang terbaik lagi kuat. (Tafsir Ibnu Katsir, II/412).

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikianlah kami jadikan kalian umat pertengahan, agar kalian menjadi saksi atas seluruh kaum manusia, dan Rasul akan menjadi saksi atas kalian.” (Al-Baqarah: 143)

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

“Dan jika kalian berbeda pendapat pada suatu persoalan, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An-Nisa’: 59)
Ayat ini menunjukkan, jika tidak terjadi silang pendapat di antara kaum muslimin, maka tidak menjadi keharusan untuk mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Menunjukkan bahwa ijma’ adalah dalil yang shahih. Rasulullah saw bersabda:

لَنْ تَجْتَمِعَ أُمَّتِيْ عَلىَ ضَلاَلَةٍ

“Umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan.” (HR Thabrani, yang perawinya dinyatakan tsiqah oleh Al-Haitsami dalam Ma’mauz Zawaid)
Syaikh As-Sa’di mengatakan, “Jalan orang beriman adalah akidah dan amal perbuatan mereka.” (Tafsir As-Sa’di: I/202).

kiblat.net